'
SUKUR MOANTO NIONDON DEGA' NOI TUTUY KON BLOG SUKRIYENDI KOLOPITA
MEROKOK MEMANG BAIK TIDAK MEROKOK JAUH LEBIH BAIK

KATA BIJAK

Gunakan Bahasa

Depan » » PERAN ADAT SEBAGAI KEARIFAN LOKAL DALAM MEMBANGUN KARAKTER MASYARAKAT BOLAANG MONGONDOW TIMUR

PERAN ADAT SEBAGAI KEARIFAN LOKAL DALAM MEMBANGUN KARAKTER MASYARAKAT BOLAANG MONGONDOW TIMUR

Written By sukriyendi Kolopita on Sabtu, 26 September 2015 | 17.29

Gambar : Bobakidan dan Tarian Adat Bolaang Mongondow



Ketika bangsa Indonesia bersepakat untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, Para Bapak pendiri bangsa (the founding fathers) menyadari bahwa paling tidak ada tiga tantangan besar yang harus dihadapi
pertama, mendirikan negara bersatu dan berdaulat;
kedua, membangun bangsa;
ketiga,membangun karakter.
Ketiga hal tersebut secara jelas tampak dalam konsep Negara bangsa (nation-state) dan pembangunan karakter bangsa (nation and character building). Pada implementasinya kemudian upaya mendirikan Negara relatif lebih cepat jika dibandingkan dengan upaya untuk membangun bangsa dan karakter. Kedua hal terkait itu terbukti harus diupayakan terus-menerus, tidak boleh putus disepanjang sejarah kehidupan kebangsaan Indonesia (Muchlas Samani & hariyanto, 2011:1).

Salah satu bapak pendiri bangsa, Bung Karno bahka nmenegaskan;  “Bangsa itu harus dibangun dengan mendahulukan pembangunan karakter (character building) inilah yang akan membuat Indonesia menjadi bangsa yang besar, makmur dan jaya, serta bermartabat. Kalau character building ini tidak dilakukan maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli.

Kondisi yang dialami semisal korupsi, seks bebas/pelecehan terhadap kaum perempuan, narkoba, tawuran, pembunuhan, perampokan, pengangguran semakin memprihatinkan. Pembangunan karakter amatlah penting karena kita ingin membangun manusia Indonesia yang berakhlak mulia, berbudi pekerti yang luhur, dan berperilaku baik karena bangsa kita ingin pula memiliki peradaban yang unggul dan mencerahkan (Leading and Lightening). Peradaban demikian dapat kita gapai apabila masyarakat kita juga merupakan masyarakat yang baik (good society) dengan perkataan, perbuatan dan diamnya mulai dari pemerintah tingkat atas sampai pada masyarakat.

Karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berprilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai prilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia lingkungan dan kebebasan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perbuatan dan perkataan berdasarkan norma agama, hukum, tata krama, etika, budaya dan adat istiadat.

Adat merupakan gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah. Apabila adat ini tidak dilaksankan atau dilanggar maka akan terjadi kerancuan yang akan menimbulkan sanksi oleh masyarakat setempat terhadap pelaku yang dianggap menyimpang (Sumber : Wikipedia Bahasa Indonesia)

Adat telah membudaya dalam kehidupan bermasyarakat baik berupa tradisi, adat upacara, tata karma, tingkah laku, olah pikir dan lainnya yang mampu mengendalikan perkataan, perbuatan, maupun diamnya warga masyarakat dan peran para tokoh adat yang menjadi panutan masyarakat adalah penting keberadaanya.

Adat merupakan norma yang tidak tertulis namun amat sangat kuat mengikat sehingga anggota masyarakat yang melanggar adat akan mendapatkan sanksi moral yang secara tidak langsung diberikan.

Sama halnya pula di wilayah Bolaang Mongondow Timur yang juga memiliki adat istiadat warisan para leluhur Bogani dengan kekuatan tekad yang akan kita jaga dan lestarikan bersama-sama ditengah-tengah modernitas dan globalisasi kehidupan yang dibalut dengan pesatnya kemajuan teknologi dan informasi telah membawa berbagai konsekuensi perubahan dalam tatanan kehidupan sosial budaya, politik dan ekonomi

Peran adat baik hukum adat, nilai-nilai budaya dan kepercayaan adalah sebagai bentuk nilai luhur dan bentuk kearifan lokal yang sangat relevan untuk diaplikasikan ke dalam proses pembangunan karakter masyarakat Bolaang Mongondow Timur.

Namun demikian dalam kenyataannya nilai-nilai luhur itu mulai meredup, memudar, kearifan lokal kehilangan makna substantifnya. Upaya-upaya pelestarian hanya nampak sekedar pernyataan simbolik tanpa arti, penghayatan dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana kita alami akhir-akhir ini, budaya masyarakat sebagai sumber daya kearifan lokal nyaris mengalami reduksi secara menyeluruh dan nampak sekedar pajangan formalitas, bahkan seringkali lembaga-lembaga budaya dimanfaatkan untuk komersialisasi dan kepentingan kekuasaan.
Kenyataan tersebut mengakibatkan generasi penerus cenderung kesulitan untuk menyerap nilai-nilai budaya menjadi kearifan lokal sebagai sumber daya untuk memelihara dan meningkatkan martabat dan kesejahteraan. Generasi sekarang semakin kehilangan kemampuan dan kreativitas dalam memahami prinsip kearifan lokal. Hal in disebabkan oleh adanya timpangan kepentingan para elit masyarakat dan pemerintah yang cenderung lebih memihak kepada kepentingan pribadi dan golongan dari pada kepentingan umum. Kepentingan subyektivitas kearifan lokal ini selalu dimanfaatkan untuk mendapatkan status kekuasaan. Para elit ini biasanya melakukan pencitraan ideal kearifan lokal dihadapan publik seolah membawa misi kebaikan bersama. Akan tetapi sebagaimana diketahui bahwa pada realisasinya justru nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya tidak lebih hanya sekedar alat untuk memperoleh dan mempertahankan kekuasaan. Pada gilirannya masyarakat luas yang struktur dan hubungan sosial budayanya masih bersifat obyektif makin tersesat meneladani sikap perilaku para elit, juga makin lelah menanti janji masa depan yang pernah terucapkan, sehingga akhirnya mereka pesimis, putus asa dan kehilangan kepercayaan.
Namun demikian, meski masyarakat cemas bahkan ragu terhadap kemungkinan nilai-nilai luhur budaya itu dapat menjadi model kearifan lokal, akan tetapi upaya menggali kearifan lokal tetap niscaya dilakukan. Masyarakat adat daerah memiliki kewajiban untuk kembali kepada jati diri mereka melalui penggalian dan pemaknaan nilai-nilai luhur budaya yang ada sebagai sumber daya kearifan lokal. Upaya ini perlu dilakukan untuk menguak makna substantif kearifan lokal, dimana masyarakat harus membuka kesadaran, kejujuran dan sejumlah nilai budaya luhur untuk di sosialisasikan dan dikembangkan menjadi prinsip hidup yang bermartabat.
Dalam proses kompromi budaya, kearifan lokal bukan hanya berfungsi menjadi filter ketika terjadi benturan antara budaya lokal dengan tuntutan perubahan. Lebih jauh, nilai-nilai budaya lokal berbicara pada tataran penawaran terhadap sumber daya nilai-nilai kearifan lokal sebagai pedoman moral dalam penyelesaian masalah ketika sebuah kebudayaan berhadapan dengan perubahan antagonis berbagai kepentingan kekuasaan hidup.
Kearifan secara etimologi berarti kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya untuk menyikapi sesuatu kejadian, obyek atau situasi. Sedangkan lokal menunjukkan ruang interaksi dimana peristiwa atau situasi tersebut terjadi. Dengan demikian, kearifan lokal secara substansial merupakan nilai dan norma yang berlaku dalam suatu masyarakat yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertindak, bertuturkata, berperlaku sehari-hari bahkan dalam diamnya pun.
Kearifan bagi tokoh masyarakat adat Bolaang Mongondow Timur sangat berkaitan dengan peran yang dimainkan dalam pengambilan kebijaksanaan. Kearifan sangat berhubungan pula dengan ungkapan-ungkapan tokoh masyarakat adat terhadap sesuatu fenomena yang berkembang dalarn masyarakat baik menyangkut alam ataupun menyangkut hubungan manusia.
Kearifan bagi Masyarakat Bolaang Mongondow Timur adalah merupakan suatu bentuk atau sikap dan perilaku dalam menghadapi sesuatu yang berkaitan dengan orang lain. Sering kearifan bagi tokoh masyarakat Bolaang Mongondow Timur dalam kehidupan bermasyarakat adalah upaya-upaya untuk menyelesaikan berbagai sengketa yang selalu diarahkan pada upaya perdamaian.
Peran Tokoh masyarakat dalam pandangan orang Bolaang Mongondow Timur ditunjukkan oleh seseorang melalui sikap dan perilaku ditengah kehidupan masyarakat yang menyebabkan orang tersebut ditokohkan karena menjadi panutan bagi anggota masyarakat. Ungkapannya patut di dengar, perilakunya patut dicontohi dan keterlibatannya untuk memajukan kehidupan masyarakat patut dihargai. Dengan demikian tokoh masyarakat adat menurut pandangan masyarakat Bolaang Mongondow Timur terletak kepada apa yang dituturkannya, apa yang dilakukannya dan apa sumbangsinya.
Peran tokoh Masyarakat adat Bolaang Mongondow Timur khususnya dalam pembangunan dapat dikategorikan dalam dua bagian yaitu peran tokoh formal (antara lain Bupati, Camat, Kepala Desa dan seterusnya), dan peran tokoh informal yakni masyarakat itu sendiri. Peran tokoh masyarakat adat secara informal memegang peranan penting karena pada kenyataannva penggerak aktivitas kemasyarakatan sangat tergantung kepada peran-peran mereka. Terutama jika dilihat dalam upaya penyelesaian-penyelesaian masalah di desa maka kearifan mereka bertutur sangat ampuh untuk menciptakan perdamaian yang pada gilirannya masyarakat tidak melihat pada siapa yang dikalahkan dan siapa yang dimenangkan. Juga dalam upaya-upaya yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat tokoh informal yang paling banyak didukung secara spontan oleh anggota masyarakat, Disinilah letaknya perbedaan peran antara tokoh formal dan tokoh informal, sehingga sering terjadi benturan yang kemudian program yang seharusnya dijalakan demi kesejahteraan masyarakat menjadi terhambat. Peran tokoh informnal tidak mengutamakan balas jasa secara materi, namun dari sisi kepuasaan secara batin, sedangkan peran tokoh formal menurut anggota masyarakat sering harus disertai dengan ukuran balas jasa.
Namun demikian peran tokoh formal tetap juga mendapat tempat ditengah masyarakat selama apa yang diperbuatnya bermanfaat bagi kesejateraan masyarakat seperti dalam dunia pendidikan, dalam bidang pemerintahan maupun dalam bidang-bidang yang lain untuk membangun daerah itu sendiri dengan baik dan benar.

Manusia Bolaang Mongondow Timur dalam kehidupan budayanya memiliki karakteristik tersendiri sebagai suatu wilayah bekas Kerajaan. Dalam kehidupan tata pemerintahan terdapat filosofis sebagai orang Mongondow (Suku) yang dianut dan menjadi pedoman sekaligus panutan, yaitu filosofis yang diwariskan dari suatu perjanjian di "Tudu in Bakid" antara kaum "Paloko" dan "Kinalang" yang lebih dikenal dalam istilah anak negeri Mongondow "Dodandian i Paloko' bo ki Kinalang" artinya perjanjian antara Poloko'dan Kinalang. Proses perjanjian tersebut tejadi ketika ‘Paloko' dan Kinalang bermusyawarah untuk menentukan siapakah yang berhak duduk di atas tahta kerajaan. Karena para Bogani (dotu) mendesak supaya segera harus ada pimpinan sebagai Punu’ yang kuat dan bijaksana guna memimpin negeri dari segala gangguan. Akhirnya kaum Paloko' dengan jiwa besar mengangkat kaum Kinalang di atas tahta kerajaan dengan perjanjian yang isinya sebagai berikut: "Mo iko in ki Kinalang, bo kami in ki Paloko', Mo iko in duduyanku tonga' kami in tompiaanmu". Arti dari peranjian itu ialah "engkau adalah Kinalang dan aku adalah Paloko' " Engkau kupatuhi tetapi nasib dan hidupku engkau perbaiki". Demikianlah isi pejanjian Paloko' dan Kinalang yang mengandung nilai-nilai filosofis dan pandangan hidup bagi anak negeri dalam mengatur tata pemerintahan. Falsalah ini menuntun terciptanya solidaritas dan kesetiakawanan yang kuat bagi anak negeri antara pemerintahan dan masyarakat sebagai rakyat dengan tuntutan serta tuntunan yang manusiawi.

Dalam kehidupan bermasyarakat dan berkeluarga terdapat falsafah yang yang memiliki nilai-nilai luhur vang diwariskan oleh para leluhur Bogani yaitu "Pogogutat". Pogogutat (rasa persaudaraan yang kuat) ini sangat nampak dalam hidup keseharian anak negeri mulai dari hajatan kecil sampai pada hajatan besar. Dari pogogutat inilah secara operasional anak negeri saling bantu-membantu dalam segala aspek kehidupan suka maupun duka. Filosofis ini kemudian diturunkan dalam tiga motto anak negeri suku Mongondow secara berurutan, yaitu :
"Mototompiaan (saling memperbaiki), Mototabian (saling menyayangi) bo Mototanoban (saling mengingatkan)”

Urutan falsafah ini secara logis didahului dengan "mototompiaan" karena dengan adanya saling memperbaiki dalam hubungan kekeluargaan maka dapat dipastikan akan muncul rasa saling menyayangi dan akhirnya saling merindukan. Falsafah inilah yang sampai sekarang ini dijunjung tinggi oleh anak negeri suku Mongondow baik anak negeri bekas Kerajaan Binatuna, Bekas Kerajaan Bolaang Uki, maupun Bekas Kerajaan Kaidipang Besar- Anak negeri memandang hubungan sesama manusia mengutamakan "bobahasa'an ", sehingga rasa momosad (gotong royong) selalu dijunjung tinggi.

Disamping itu terdapat pula falsafah tentang bekerja, anak negeri menyebut falsafah tersebut "aka mo olu' in bongkuyung, mo olu' doman in sigogou" artinya kalau tumit kaki basah maka leherpun juga akan basah. Filosofis ini menunjukkan bahwa anak negeri suku Mongondow mengutamakan kerja keras, sebab jika tidak bekerja berarti tidak mendapat makan. Dari filosofis-filosofis inilah sehingga anak negeri mamandang dirinya sebagai putra daerah (adi' in lipu') tanpa memandang wilayah bekas kerajaan yang pernah hadir di tanah Totabuan.

Jika dilihat lebih jauh bahwa masyarakat bumi totabuan bermuara dari dondadian atau kesepakatan antara Paloko dan Kinalang. Perjanjian ini menunjukkan bahwa masyarakat di bumi Totabuan antara Pemimpin dan Rakyat saling bantu membantu, saling menopang agar masyarakat adat tetap eksis. Lepas dari segala macam penafsiran maka inilah yang melahirkan konsep ‘Pogogutat’ bagi orang Bolaang Mongondow Timur dalam meringankan beban diantara berbagai pihak antara Paloko dan Kinalang. Serta secara operasionalnya untuk melihat pengembangannya dalam kehidupan masyarakat adat maka “Moto tompiaan, Moto tabian bo Moto tanoban” adalah indikator nyata dan riel dapat kita lihat

0 komentar :

Posting Komentar

Terima Kasih (Sukur Mo Anto)

Galery Sukriyendi M Kolopita









Yendi Tutuyan II. Diberdayakan oleh Blogger.