dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,
(yaitu) orang-orang yang
menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang
yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai
orang-orang yang berbuat kebajikan. [QS . Ali-Imran : 133-134]
‘Idul fitri terambil dari akar kata yang berarti kembali, yakni
kembali ke tempat atau keadaan semula. Ini berarti bahwa sesuatu yang kembali
pada mulanya berada pada suatu keadaan atau tempat, kemudian meninggalkan
tempat atau keadaan itu, lalu kembali dalam arti ke tempat atau keadaan semula.
Nah, apakah
keadaan atau tempat semula itu ?
Hal ini dijelaskan
oleh kata Fithr, yang antara lain berarti asal kejadian, agama yang benar, atau
kesucian. Dalam pandangan Al-Qur’an, asal kejadian manusia bebas dari dosa dan
suci, sehingga ‘Idul fitri antara lain berarti kembalinya manusia kepada
keadaan sucinya, atau keterbebasannya dari segala dosa dan noda, sehingga
dengan demikian ia berada dalam kesucian.
Dosa memang
mengakibatkan manusia menjauh dari posisinya semula, baik kedekatan posisinya
terhadap Allah maupun sesama manusia. Demikianlah salah satu kesan yang
diperoleh dari sekian banyak ayat Al-Qur’an.
Ketika Adam dan
Hawa berada di Surga, Allah menyampaikan pesan yaitu
dan Kami berfirman: "Hai Adam,
diamilah oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang
banyak lagi baik dimana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon
ini, yang menyebabkan kamu Termasuk orang-orang yang zalim. [Q.S. Al-Baqarah : 35]
Namun begitu
keduanya melanggar perintah Allah (karena berdosa dengan memakan buah pohon
itu). Al-Qur’an menyatakan.
Maka syaitan membujuk keduanya
(untuk memakan buah itu) dengan tipu daya. tatkala keduanya telah merasai buah
kayu itu, nampaklah bagi keduanya aurat-auratnya, dan mulailah keduanya
menutupinya dengan daun-daun surga. kemudian Tuhan mereka menyeru mereka:
"Bukankah aku telah melarang kamu berdua dari pohon kayu itu dan aku
katakan kepadamu: "Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi
kamu berdua?" [Q.S. Al-A’raf :
22]
Kesan yang
ditimbulkan oleh redaksi ayat-ayat diatas antara lain :
Pertama, bahwa
sebelum terjadinya pelanggaran, Allah bersama Adam dan Hawa berada pada suatu
posisi berdekatan, yakni masing-masing tidak jauh dari pohon terlarang. Karena
itu, isyarat kata yang digunakan untuk menunjuk pohon adalah isyarat dekat, yakni
“ini”. Tetapi ketika Adam dan Hawa melanggar, mereka berdua menjauh dari posisi
semula, dan Allah pun demikian, sehingga Allah harus menyeru mereka yakni
berbicara dari tempat yang jauh, dan ini pula yang menyebabkan Tuhan menunjuk
pohon terlarang itu dengan isyarat jauh, yakni “itu”.
Disini terlihat
bahwa baik Adam maupun Allah masing-masing menjauh, tetapi jika mereka kembali,
masing-masing akan mendekat sehingga pada akhirnya akan berada pada posisi
semula. Memang tegas dalam Al-Qur’an :
dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya
kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya aku adalah dekat. aku
mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, Maka
hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman
kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran. [Q.S. Al-Baqarah : 186]
kesadaran manusia
terhadap kesalahannya mangantarkan Allah mendekat kepadanya. Pada gilirannya,
hal itu akan menyebabkan manusia bertobat. Perlu diingat, bahwa tobat secara
harfiah berarti kembali. Sehingga dengan demikian Allah pasti akan kembali pada
posisi semula. Al-Qur’an memperkenalkan dua pelaku tobat, yaitu manusia dan
Allah SWT.
kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari
Tuhannya, Maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima
taubat lagi Maha Penyayang.
[Al-Baqarah : 37]
walau bukan
kembali dalam konteks memohon ampun, namun dapat diperoleh kesan dari firman-Nya
yang menyatakan
Mudah-mudahan Tuhanmu akan
melimpahkan rahmat(Nya) kepadamu; dan Sekiranya kamu kembali kepada
(kedurhakaan) niscaya Kami kembali (mengazabmu) dan Kami jadikan neraka
Jahannam penjara bagi orang-orang yang tidak beriman. [QS . Al-Baqarah : 37]
Bahwa Allah selalu
rindu akan kembalinya manusia kepada-Nya.
Hadits Nabi SAW
pun menjelaskan bahwa Allah berfirman antara lain
“Apabila hamba-Ku
mendekat kepada-Ku (Allah) sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Bila ia
mendekat kepada-Ku sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Bila ia datang
kepada-Ku dengan berjalan, Aku akan datang menemuinya dengan berlari” [HR.
Bukhari dari Anas bin Malik].
Dalam konteks
hubungan manusia dengan sesamanya, dapat ditarik kesan dari penamaan manusia
dengan kata al-insan. Kata ini menurut sebagian ulama terambil dari kata uns yang berarti senang atau harmonis.
Sehingga dari sini dapat dipahami, bahwa pada dasarnya manusia selalu merasa
senang dan memiliki potensi untuk menjalin hubungan harmonis antar sesamanya.
Dengan melakukan dosa terhadap sesama manusia, sehubungan tersebut menjadi
terganggu dan tidak harmonis lagi. Namun manusia akan kembali ke posisi semula
(harmonis) pada saat ini menyadari kesalahannya, dan berusaha mendekat kepada
siapa yang pernah ia lukai harinya.
Dari uraian diatas
dapat disimpulkan bahwa ‘Idul fitri mengandung
pesan agar yang merayakannya mewujudkan kedekatan kepada Allah SWT dan sesama
manusia. Kedekatan tersebut diperoleh antara lain dengan kesadaran penuh
terhadap kesalahan yang telah diperbuat.
HALAL BIHALAL
Kata halal dari segi hukum diartikan sebagai
sesuatu yang bukan haram, sedangkan haram meruakan perbuatan yang mengakibatkan
dosa dan ancaman siksa. Hukum Islam memperkenalkan panca hukum yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Jikalau halal
bihalal diartikan dalam konteks hukum, hal ini tidak akan menyebabkan lahirnya
hubungan harmonis antarsesama, bahkan mungkin dalam beberapa hal dapat
menimbulkan kebencian Allah kepada pelakunya. Karena itu, sebaiknya kata halal
pada konteks halal bihalal tidak dipahami dalam bihalal pengertian hukum.
Dalam Al-Qur’an,
kata halal terulang sebanyak enam kali. Dua diantaranya pada konteks kecaman,
yaitu :
Katakanlah: "Terangkanlah
kepadaku tentang rezki yang diturunkan Allah kepadamu, lalu kamu jadikan
sebagiannya Haram dan (sebagiannya) halal". Katakanlah: "Apakah Allah
telah memberikan izin kepadamu (tentang ini) atau kamu mengada-adakan saja
terhadap Allah ?" [QS. Yunus
: 59]
116.
dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu
secara Dusta "Ini halal dan ini haram", untuk mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan
kebohongan terhadap Allah Tiadalah beruntung.
117. (Itu adalah) kesenangan yang
sedikit, dan bagi mereka azab yang pedih. [QS. An-Nahl : 116-117]
Kesan apakah yang
dapat diperoleh dari ayat ini ? paling tidak, terdapat kecaman terhadap mereka
yang mencampurbaurkan antara yang halal dan yang haram. Jika yang
mencampurbaurkan saja telah dikecam dan diancam dengan siksa yang pedih,
lebih-lebih lagi orang yang seluruh aktivitasnya adalah haram
Empat halal
lainnya yang tersebut dalam Al-Qur’an mempunyai dua ciri yang sama, yaitu :
a.
Diperintahkan
dalam konteks perintah makan (kulu).
b.
Kata halal
digandengkan dengan kata thayyibah (baik).
Perhatikan keempat
ayat berikut :
168. Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari
apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah
syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. [QS. Al-Baqarah : 168]
88. dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang
Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman
kepada-Nya. [Al-Maidah : 88]
69. Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu
ambil itu, sebagai makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al-Anfal : 69]
114. Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah
diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah nikmat Allah, jika kamu hanya
kepada-Nya saja menyembah. [QS. An-Nahl : 114
Kata makan dalam Al-Qur’an sering diartikan “melakukan aktivitas
apapun”. Ini agaknya disebabkan karena makan merupakan sumber utama perolehan
kalori yang dapat menghasilkan aktivitas. Dengan demikian, perintah makan dalam
ayat-ayat diatas bermakna perintah melakukan aktivitas, sedangkan aktivitas
tidak sekedar halal, tetapi juga harus thayyib
(baik). Nah, jika dikembalikan pada empat jenis halal yang diperkenalkan oleh
hukum Islam, maka yang makruh tidak termasuk dalam kategori halalan thayyiban.
Al-Qur’an menyatakan secara tegas cinta Allah (Innallah yuhib) sebanyak 18 kali, yang dapat dirinci sebagai
berikut :
Masing-masing sekali untuk at-tawabin
(orang yang bertobat), ash-shabirin (orang
yang sabar), dan shaffan wahida
(orang yang berada dalam satu barisan/kesatuan).
Masing-masing dua terhadap al-mutawakklin
(orang yang berserah diri kepada Allah) dan al-mutathahirin (orang yang menyucikan diri).
Masing-masing tiga kali terhadap al-muttaqin
(orang-orang yang bertaqwa) dan al-muqsithin
(orang-orang yang berlaku adil), dan lima kali terhadap al-muhsinin.
Kesan yang ditimbulkan oleh angka-angka itu paling tidak mengisyaratkan
bahwa sikap yang paling disenangi oleh Allah adalah al-muhsinin (orang-orang yang berbuat baik terhadap mereka yang
melakukan kesalahan). Hal ini sesuai dengan perintah Al-Qur’an untuk melakukan
perbuatan halal lagi baik, tidak sekedar perbuatan halal (boleh), tetapi tidak
menghasilkan kebaikan.
Dalam Al-Qur’an surat Ali-Imran ayat 134 diisyaratkan tingkat-tingkat
terjalinnya keserasian hubungan.
“mereka yang menafkahkan hartanya, baik pada saat keadaan mereka senang
(lapang) mapun sulit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memaafkan
orang-orang yang bersalah (bahkan berbuat baik kepada mereka). Sesungguhnya
Allah menyukai mereka yang berbuat baik (terhadap orang-orang yang bersalah).
Disini terbaca, bahwa tahap pertama adalah menahan amarah, tahap kedua
memberi maaf, dan tahap berikutnya adalah berbuat baik terhadap orang yang
bersalah.
Sumber : oleh Waris Sumarwoto
Risalah Islam, Edisi 39/XVII dalam M.
Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, 2001
0 komentar :
Posting Komentar
Terima Kasih (Sukur Mo Anto)